Skip to content

serpihan kecil Indonesia dulu 1

April 11, 2013

When Raffles Came and Period After Him

Pada pertengahan tahun 1811 tepatnya tanggal 3 Agustus, Gillbert Elliot atau Lord Minto, Gubernur Jenderal India mendarat di Batavia dengan membawa armada hampir seratus kapal dan 12.000 serdadu. Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, Jansenns dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mempertahankan wilayahnya. Bagaimana tidak, lautan menjadi kuburan bagi Belanda tapi merupakan jalan raya bagi Inggris. Armada Belanda tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa diandalkan dan juga bukan lagi momok yang diperhitungkan bagi Inggris. Jansenns tidak berkutik menghadapi serdadu-serdadu Inggris karena kekuatan militernya disebar di seantero pulau Jawa. Hanya dalam enam minggu Jansenns takluk dan mengaku kalah. Jawa yang strategis merupakan alasan mengapa ingin diduduki selain sebagai ekspedisi penghukuman untuk penguasanya terdahulu. Contoh dari ekspedisi tadi adalah mengusir musuh dari semua pemukiman masyarakat lokal, merobohkan semua benteng mereka, merampas dan menghancurkan semua gudang senjata dan amunisi. Bagi para Direktur Perusahaan Inggris, prospek menyerang Jawa tidaklah menarik. Mereka tidak ingin mempermanenkan Jawa sebagai koloni karena sangat memandang rendah nilai ekonomis pulau itu. Jadi bisa dikatakan Inggris menyerang Batavia bukan sebagai musuh, tetapi sekadar membatalkan aneksasi illegal atas Jawa oleh imperium Napoleon dan menaruhnya di bawah perlindungan Inggris. Tetapi, orang yang harus melaksanakan perintah ini memiliki pandangan berbeda.

Why Raffles ?

Sebelum membahas itu, alangkah baiknya jika memperhatikan Gubernur Jenderal India saat itu, Lord Minto terlebih dahulu. Beliau adalah orang yang ditunjuk untuk menyerang Batavia dan mendudukinya. Sikap humanis dalam dirinya menjadikan dia menginginkan Hindia Belanda menjadi sesuatu yang patut dihargai dan ditelusuri lebih jauh. Dia menghimpun sejumlah orang yang betul-betul berminat terhadap bahasa-bahasa Melayu,  sejarah serta adat-istiadat di Hindia Belanda dan pastinya untuk duduk bersamanya dalam mengurusnya.Dr. John C. Leyden adalah salah satu orang yang mendukung itu semua. Dia juga humanis dan sangat mengerti Melayu. Dia pun merekomendasikan seorang yang menurutnya berpandangan sama dan sangat cocok untuk dapat membantu di posisi yang setidaknya “wah” kepada Lord Minto. Memiliki semangat membara, pemikiran brilian, dan juga cukup bijaksana untuk lebih memilih reputasi dalam sejarah daripada penghasilan material sesaat. Orang ini bernama Thomas Stamford Raffles. Raffles mengawali karirnya di kantor perusahaan di London lalu diangkat menjadi agen Perusahaan di Pulau Penang pada tahun 1805. Di sinilah dia memulai segala kecintaannya terhadap Melayu, dari bahasa, adat-istiadat dan sejarahnya. Dia juga sering sekali surat-menyurat dengan William Marsden, penulis buku History of Sumatra dan pastinya juga dengan Dr. Leyden. Ketika saat-saat mendekati waktu penyerangan Inggris ke Batavia, Lord Minto meminta Raffles untuk bersiap-siap menyibukkan diri dengan antusiasme penuh. Setelah berhasil mengalahkan kekuatan imperium Napoleon di Hindia Belanda dengan air bah serdadunya, Lord Minto kemudian membagi kepulauan Indonesia menjadi  empat unit administrative, yaitu pemerintahan Malaka, Bengkulu, Maluku dan Jawa yang dipercayakan kepada Raffles. Bagaimanakah Raffles dapat memahami situasi, menggunakan kesempatan yang ada dan memanfaatkannya ?

 

Raffles’s Decisions     

Raffles merupakan seorang reformator seperti Daendels, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Pada saat Daendels berkuasa, Jawa sudah berstatus terkepung. Dia tidak dapat leluasa bahkan tidak dapat menemukan pasar untuk hasil buminya karena superioritas Inggrris di laut, Daendels pun karena terkena tekanan militer  terpaksa menjalankan kerja paksa tanpa bayaran karena keterbatasan biaya akibat dari teranggurnya hasil-hasil bumi di gudang, padahal pendapatan sangat bergantung dari itu semua. Maka dari itu dia tidak dapat bermanuver dengan baik. Berbeda dengan Raffles yang tetap dapat berhubungan dengan India, bahkan negaranya sendiri berkat armadanya. Tugas Daendels semata-mata untuk kepentingan militer, mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris yang ingin menghancurkan aneksasi imperium Prancis saat itu, sehingga kebijakan-kebijakannya lebih ke dalam aspek pertahanan. Sedangkan Raffles bisa berimprovisasi lebih jauh karena diberi kebebasan yang sangat leluasa sesuai keinginannya sendiri dan juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk sesuatu yang dipandang kurang dibutuhkan. Tidak seperti Daendels yang mengedepankan bidang pertahanan, seperti jalan-jalan, gudang senjata, barak tentara dan benteng-benteng di seantero Jawa.

Dalam memulai reformasinya di bidang administrasi, Raffles menilai pendahulunya, Daendels, telah membuka jalan mengarah kepada reformasi.”Marsekal Daendels telah menciptakan administrasi yang lebih regular, aktif, bersih, dan efisien daripada yang pernah ada sebelumnya” aku Raffles. Raffles tinggal memperbaharui kebijakan Daendels tadi.Raffles mendapatkan sekutu yang sangat membantu dalam bermanuvernya di Jawa, yaitu Muntinghe. Dia telah melihat  dan belajar mengagumi Inggris dan berani berpihak pada Inggris. Suatu hal yang patut disyukuri oleh Raffles karena mendapatkan lagi pribadi yang mendukung kerevolusioneran dalam dirinya. Dewan Hindia ciptaan Daendels yang ruwet dirubah formatnya menjadi Dewan beranggota tiga, Muntinghe dan salah seorang Belanda sebagai anggota sipil dan seorang perwira dari Inggris sebagai penasihat militer. Dewan Keuangan dan Kamar Perakunan tidak dipertahankan oleh Raffles, diganti oleh Departemen Perakunan atas dasar untuk membatasi kegiatan Negara dalam bidang produksi dan perdagangan. Prefektur-prefektur buatan Daendels ketika berkuasa juga dirubah menjadi system Keresidenan, dengan perubahan-perubahan di garis batas prefektur dan dibagi menjadi 16 Keresidenan. Raffles juga mengambil kembali daerah yang dahulu oleh Daendels disewakan kepada orang China. Bupati-bupati tidak lagi memiliki otonomi karena Raffles merubah kabupaten menjadi distrik, akibatnya bupati hanya berstatus menjadi pejabat distrik. Mengapa begitu ? Raffles berprinsip, semua tanah adalah milik Negara dan kepala desa berhak menjadi pengawas umum atas segala masalah yang timbul berkaitan dengan desa itu di segala aspek. Beliau memutuskan itu dikarenakan sudah sangat mengerti system seperti itu di Inggris dan juga merupakan tradisi di India. Setiap kepala desa di tentukan melalui pemilihan oleh rakyatnya yang berhak karena itu semua demi kepentingan mereka juga.”Hak memilih di tangan rakyat. Memberikan kepada mereka kemerdekaan sejati dan adalah institusi yang tampaknya aneh bagi pulau ini dan begitu sesuai dengan kehebatandan prinsip pemerintahan Britania sehingga kepentingannya tidak bisa dilebih-lebihkan lagi”, ujar Raffles. Kepala desa yang telah terpilih merupakan sekaligus utusan pemerintah dan wakil rakyat. Raffles percaya bahwa itu merupakan salah satu materi untuk membangun system administrasi yang kuat tanpa bergantung pada bupati yang Raffles pikir cenderung rakus dan penindas.

Ditangan Raffles, system peradilan pun diubah di masanya. Setidaknya ada unsur kesamaan dengan di negaranya. Jumlah hakim dikurangi dan menghilangkan Mahkamah Agung dan Pengadilan Aldermen yang dia pikir kurang efektif. Raffles membuat tiga unit baru yang besar untuk menggantikan yang sebelumnya, yaitu Pengadilan Yudisial, Pengadilan Permintaan untuk urusan-urusan kecil dan satu Magistrat Pengadilan Polisi. Pengadilan-pengadilan ini yang memutuskan perkara-perkara peradilan sipil dan militer untuk mereka di semua golongan di setiap kota. Dalam kasus sipil mereka mengikuti prosedur yang diberlakukan di Inggris dengan membawa juri. Untuk masyarakat yang tinggal di pedalaman harus melewati dua tahapan. Di tahap yang kedua, kasus hukuman mati hanya boleh ditangani oleh Pengadilan Wilayah yang terdiri dari satu hakim tunggal dari Pengadilann Yudisial. Sistem Daendels yang dulu ditangani oleh bupati kini oleh Residen sendiri. Pejabat distrik benar-benar tidak memiliki kekuasaan atas perkara. Sistem Peradilan yang diterapkan di atas merupakan salah satu kebijakan Raffles yang revolusioner, karena mencoba mencangkokkan unsur Inggris ke daerah koloninya.

Kebijakan Raffles yang paling spektakuler dan total dari reformasinya adalah mengenai perpajakan. Raffles menggunakan prinsip dari Adam Smith yang mana dikatakan monopoli adalah seperti perbudakan. “Ia adalah kutukan bermata dua, dampaknya tidak kalah buruk bagi yang menerapkannya daripada yang menjadi korbannya… Perdagangan seperti Kemerdekaan, adalah kekuatan dahsyat dan akan menutup berkat-berkatnya bagi semua orang yang mencoba menahan gerak majunya”, tulisnya. Raffles ingin menerapkan dimana rakyat pribumi dapat saling memperkaya diri sendiri, membuahkan kemakmuran bagi keduanya, Inggris dan rakyat pribumi. Kesejahteraan rakyat lah tujuan paling utamanya. Melalui proses perdagangan yang bebas dan tidak terbatas serta memberikan perlindungan yang pasti bagi usaha perorangan yang memastikan hak kesamaan demi menikmati hasil kerja keras mereka. Raffles merubah system kerja paksa dengan kerja upah yang tidak lagi memberikan beban sangat berat yang telah masyarakat emban semasa Daendels dahulu. Raffles kembali menitikberatkan kebijakan-kebijakannya kepada kepala-kepala desa yang dianggap lebih efektif daripada bupati aristokratik.Raffles berkta, ”Tanah-tanah pemerintah pada umumnya akan disewakan kepada kepala-kepala desa… seterusnya mereka akan menyewakan ulang tanah-tanah ini kepada para pengolah menurut pembatasan tertentu, dengan harga yang tidak menindas dan hak semua penyewa di bawah Pemerintah akan dilindungi seadil-adilnya, selama mereka terus menjalankan tanggung jawab mereka dengan setia.” Raffles menghendaki menetapkan nilai sewa dalam bentuk uang tunai duaperlima dari hasil kotor, yang dia perkirakan sama setara dengan semua pajak internal, kontribusi, penyerahan hasil bumi dengan yang tidak memadai dan kerja paksa yang telah dilakukan oleh penguasa Eropa maupun pribumi yang sebelumnya harus diserahkan oleh petani. Raffles juga mebuat kebijakan mengenai pajak kepala atau rumah tinggal bagi non-petani.  Dalam reformasi di bidang perpajakan ini Raffles sangat menyingkirkan peran bupati, karena beliau pikir bupati tidak berhak atas kekuasaan magisterial atau pemajakan dan bupati pada akhirnya memang tidak bersangkutpaut dengan perpajakan. Raffles melihat segala kebijakannya yang terbilang sangat reformasi ini dengan rasa puas dan bangga,” Saya sangat bahagia, berhasil memerdekakan beberapa juta orang sesamaku manusia dari perbudakan dan penindasan sewenang-wenang. Pemasukan untuk pemerintah, alih-alih dicomot oleh tangan serakah pemungut pajak tak berperasaan dari petani yang telah bekerja keras, kini akan langsung masuk ke perbendaharaan pemerintah dan dalam proporsi menurut kapasitas actual negeri itu… dan menurut pandangan politik yang lebih luas, kita bisa membayangkan bahwa orang banyak akan untuk selamanya mengikatkan diri pada kekuasaan Britania.”

 

Positive and Negative Side of His Decisions

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa system agraria dan perpajakan yang diusung Raffles adalah sesuatu yang memberikan kebebasan lebih kepada para petani untuk menanam apa saja yang mereka inginkan dan juga dengan sewa tanah yang dinilai tidak lagi memberatkan petani seperti system terdahulu. System-sistem baru yang diterapkan Raffles diatas kertas memang terlihat mudah, tetapi tidaklah segampang yang dikira ketika diterapkan. Sistem terdahulu yang telah diemban petani lokal membuat mereka agak susah menerima kebijakan baru yang benar-benar sangat berbeda dan sedikit membingungkan meskipun memberikan keuntungan pada mereka. Penyewaan tanah yang mengganti kerja paksa dilakukan berdasarkan kontrak, segala catatan sewa-menyewa harus disimpan di setiap desa. Kepala desa harus memberikan harga yang tepat bagi calon penyewanya, tidak boleh bersifat menindas yang Raffles pikir akan terjadi jika bupati yang mengemban tugas ini, kepala desa juga harus memberikan tanda terima untuk setiap pembayarannya. Bayangkan, semua hal yang begitu kompleks, dan diberlakukan di daerah yang mayoritasnya buta huruf. Hasil pendapatan tahun-tahun pertama ternyata berjalan sesuai konsep. Pendapatannya lumayan besar bagi suatu pergantian system baru yang lebih fresh menggantikan system yang telah ratusan tahun mendoktrin kalangan pribumi. Setelah Raffles mendapatkan angin segar mengenai hal ini, ternyata Raffles berimprovisasi lagi dengan memutuskan penyewaan tanah yang kaku di atas kertas tetapi dibuat langsung dengan petani penyewa. Ternyata hasilnya invalid dari bayangan Raffles. Pendapatan hasil dari sewa tanah ternyata jatuh sampai kurang dari separuh yang diterima dengan  metode sebelumnya yang telah diterapkan. Ketidakefisienan pada permulaan kebijakan memang menjadi resiko yang harus berdiri di pundak Raffles, tetapi semua itu memang bertujuan menyejahterakan rakyat. Dengan kebebasan yang diberikan Raffles mengenai penanaman, Raffles ingin meningkatkan minat petani lokal untuk lebih bisa memproduksi tanaman komersial yang laku di pasar dunia. Tetapi ternyata para petani tidak terlalu terangsang kesana yang seperti Raffles pikirkan. Petani-petani tetap saja lebih banyak memproduksi padi, antara lain karena mereka sangat membutuhkan sebagai bahan pokok, dan juga karena nenek moyang mereka menanam padi dan bukan tanaman lain, dengan demikian hal itulah yang menjadi pilihan mayoritas para petani. Dalam hal ini Raffles dinilai kurang meningkatkan pendapatan untuk Negara dan tetap saja anggaran administrasinya dibayar oleh Perusahaan India Timur hingga berjuta-juta.

Seperti uraian-uraian yang sebelumnya dipaparkan, bahwa Raffles menerapkan system sewa tanah di seluruh Jawa. Tetapi pada kenyataannya tidak seperti itu. Contohny di Priangan Raffles tidak menerapkan hal itu tetapi dengan cara terdahulu dengan hanya mempunyai nilai lebih dalam pengawasannya. Tapi untuk apa jika tidak menyejahterakan rakyat seperti yang dikumandangkan oleh Raffles ? Sebenarnya Raffles memilih kebijakan yang berbeda dari wilayah lain adalah karena semata-mata kesulitan finansial pemerintah Jawa. Sehingga Raffles tidak bisa konsisten dalam bermanuver.Di Priangan, sewa tanah tidak berlaku.Di sini penarikan pajak dalam bentuk tenaga kerja dan produksi wajib diberlakukan.  Akhirnya karena memang benar-benar kesulitan dana, Raffles menjualan tanah pemerintah kepada pemodal dari Eropa dan Cina seperti yang dulu Daendels juga telah lakukan.

Berbagai tekanan mulai timbul dari orang-orang yang tidak pro terhadapnya. Raffles dituduh sebagai orang yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Mayor Jenderal R. R. Gillespie, perwira komandan pasukan Inggris di Jawa yang paling gencar melancarkan protes-protes tajam atas kepepimpinan Raffles kepada para pejabat tinggi yang berkedudukan di Kalkuta. Ketika Lord Minto tidak lagi berdiri di posisi yang sebelumnya yaitu Gubernur Jenderal India, Gillespie maju dengan tuduhan-tuduhannya. Persaingan dan iri hati antara Lord Minto dan Gillespie sebenarnya sudah ada dan kental. Maka ketika ada kesempatan dan luang, Gillespie memanfaatkannya dengan baik.

Akhirnya, Dewan Direktur Perusahaan India Timur memutuskan bahwa masa pendudukan Raffles dan segala kebijakan-kebijakannya dinilai tidak memuaskan, jauh dari harapan. Sang Letnan Gubernur dinilai tidak handal dalam menyeimbangkan anggaran koloni dengan pendapatannya, sehingga pengeluaran pusat mengalir deras hanya ditujukan kepada satu koloni yang tidak memberikan hasil yang pasti. Seperti yang dikatakan Muntinghe bahwa, segala reformasi yang dikumandangkan Raffles semata-mata memang baik bagi kesejahteraan rakyat, tetapi pengeluaran akan meningkat pada awal dan pendapatan naik dengan pelannya. Dana yang dikeluarkan pusat sudah besar nilainya untuk pulau seperti Jawa. Tetapi timbal balik tidak diberikan kepada Negara secara signifikan. Sehingga Perusahaan India Timur tidak lagi berminat mempertahankan suatu wilayah yang hanya membutuhkan ongkos besar tanpa memberikan keuntungan yang jelas.Walhasil pada 1805 Raffles dipanggil pulang dan digantikan oleh John Fendall. Sebagai administrator Raffles merupakan orang yang dinilai buru-buru dan tergesa-gesa sehingga keoptimisannya tadi bisa menjadi batu sandungan yang kurang diperhitungkan sebelumnya. Tetapi masa selingan Raffles di sejarah Jawa merupakan satu hal patut dikenang karena telah membersihkan Jawa dari debu yang sudah bertahun-tahun melekat dan Raffles ternyata orang ingin dan bisa membukakan jendela kepada rumah tua itu agar angin segar bisa masuk kedalamnya.

Asal- Muasal Komisaris Jenderal

Pada saat Napoleonnya Prancis tidak berdaya Belanda kembali membuat Undang-Undang yang baru yang ‘lebuh liberal’. Belanda sangat membutuhkan sesuatu yang bisa mengisi kekosongan kas yang telah hilang selama periode Prancis. Kopi yang menjadi komoditi andalan tidak lagi bisa menjadi hal yang signifikan bagi Belanda. Warisan Raffles mengenai kopi adalah tertumpuknya stok di gudang- gudang Perusahaan India Timur. Belanda sangat mengharapkan mendapatkan memaksimalkan kopi di pasar Eropa untuk meraih kekayaan nasional sebesar mungkin, tetapi ternyata pasar telah jenuh dengan barang itu, otomatis kopi tidak lagi begitu laku dipasaran.  Kopi yang bertumpuk-tumpuk di gudang sedangkan kas kosong melompong. Tetapi pemerintah Belanda system sewa tanah merupakan hal terbaik yang telah dilakukan Raffles sehingga tetap dipertahankan.

G. K. van Hogendorp membentuk suatu pemerintahan provisional  dan mengatur pemulangan Dinasti Oranye yang diwakili oleh William sebagai Raja yang berdaulat. Belanda mengumandangkan liberalis dalam Undang-Undangnya. Liberalisme sudah pasti berkiblatkan Adam Smith dan Rousseau yang merangsang Revolusi Prancis. Keduanya menjunjung kemerdekaan orang per orang  dan meniadakan monopoli perdagangan. Pandangan mereka juga menuju pada kebebasan berpikir, berbicara, menulis, dan beragama, kesamaan di dalam hukum dari campur tangan kaum eksekutif. Tapi jika ditilik lebih lanjut ternyata Belanda melenceng dari format awal, monopoli tetap menjadi kekuatan yang dapat mengalahkan konsep awal tadi.

Konstitusi baru dibentuk. Pada 1812 van Hogendrop menuliskan garis besar konstitusi. Undang-Undang Baru dibuat bercondongkan liberalisme abad 18. Dalam Undang-Undang yang baru, William memiliki kekuasaan yang sangat besar, dia punya wewenang untuk menyatakan perang dan damai, manajemen kebendaharaan dan semua Menteri bertanggung jawab penuh kepadanya. Sementara Parlemen diduduki oleh mereka yang dipilih oleh rakyat. Sesuatu yang paling bercirikan liberal dalam konstitusi ini adalah ketika pembentukan peradilan independen dan menegakan hak-hak asasi rakyat. Pada 1815 Willian resmi memperoleh gelar Raja dan menjadi Penguasa Belgia.

Pada Konvensi London 1814, Inggris setuju mengembalikan sebagian besar koloni yang dahulu sudah dikuasai oleh Belanda, mencakup Kepulauan di Malaya. Bagi sebagian orang Belanda yang imajinatif, koloni-koloninya merupakan sumber emas, tetapi mereka juga berpandangan bahwa tidak perlu susah payah dalam menguras emasnya itu. William kemudian membentuk Komisaris-Komisaris untuk menegakkan pemerintahan Belanda sesuai keinginannya. Komisaris Pertama adalah C. Th. Elout yang sebelumnya sudah tertarik masalah-masalah mengenai Hindia sejak 1791, ketika dia hamper saja dikirim untuk menjadi sekretaris Nederburgh. Komisaris yang kedua adalah Baron van der Capellen yang jauh lebih muda dan disukai pribadinya oleh Louis Napoleon dan William sendiri. Komisaris ketiga adalah Buyskes, seorang perwiran angkatan laut cakap dan pernah menjadi Letnan Gubernur di bawah Herman Willem Daendels. Sebelum terpilihnya Buyskes, Muntinghe lah yang disuggest, namun karena dia dinilai terlalu ke-inggrisan maka Buyskes lah pilihan terakhirnya.

The New Decisions

Komisaris-Komisaris tadi memiliki kebijakan yang harus dapat memberikan kontribusi besar bagi Negara. Elout berpendapat bahwa dia diperintahkan masuk ke dunia baru, tetapi yang penuh dengan kekacau-balauan. Otomatis lebih mungkin untuk menciptakan dunia baru. Dalam bidang keadministrasian hampir segala peraturannya mereka warisi dari kebijakan Raffles terdahulu. Memang system sewa adalah baik untuk diterapkan tetapi  prinsipnya dibedakan. Kedua, Belanda memandang pejabat-pejabat sebagai agen atau pewakil berbeda dengan Raffles yang jelas bahwa pejabat adalah bawahannya yang jelas. Komisaris juga tidak menaruh kepercayaan yang pasti kepada bupati sama seperti yang Raffles lakukan. Bupati merupakan bawahan Residen. Asisten Residen pun tidak berwenang atas bupati. Belanda bahkan lebih ketat dalam mengawasi bupati dibandingkan Raffles dahulu. Bupati hanya terhibur oleh pengohormatan atas namanya saja untuk dibanggakan kepada selir dan anak-anak mereka. Karena pada kenyataannya terisingkir secara langsung oleh sepak terjang yang leluasa diberikan kepada Residen dan Wedana.

Para Komisaris juga mengklaim bahwa mereka lebih memberlakukan rakyat sebagai anak-anaknya yang patut disejeterahkan, mengayomi sebagai ayah dalam peradilan. Berbeda dengan yang Raffles dalam system peradilannya menginginkan Residen menghakimi segala kasus yang tidak termasuk hukuman mati. Rakyat diberi kebebasan yang pasti karena pandangannya jelas bahwa rakyat bisa mengurus kepentingannya masing-masing jika diberikan kebebasan dalam hukum. Belanda tidak seperti itu. Belanda ingin lebih mengayomi atau tidak menghendaki rakyatnya berjalan sendirian di aspek peradilan. Belanda masih meragukan kemandirian pribumi yang sangat dipercayai oleh Raffles.

Dalam bidang ekonomi van der Capellen menerapkan beberapa kebijakan dalam Regulasi Konstitusional mereka. Antara lain, menetapkan bahwa “penyewaan desa-desa untuk alasan apapun dihapuskan kini dan selamanya”, mereka juga membatasi penggunaan tanah dan penduduk atas investor-investor dan kolonisasi, Komisaris menunggu keputusan langsung dari Raja. Mereka juga khawatir manakala pertanian tidak lagi menjadi komoditas utama dalam penghimpunan kekayaan, maka dari itu segala hasil bumi tetap menjadi hak milik Negara yang wajib diserahkan. Mereka juga merancang kebijakan, suatu organisasi administrasi yang beranggaran cukup tinggi, lebih tinggi ketimbang masa Raffles dan mengorbankan pemasukan Negara. Kebijakan ekonomi tadi merupakan tindak lanjut dari kebijakan yang dikeluarkan Daendels dan Raffles dahulu. Mereka berdua tidak yakin akan kebebasan yang diberikan kepada investor dan untuk kolonisasi Eropa, hal itu diawasi dengan penuh kecurigaan meskipun dasar awalnya adalah kebebasan penuh. Tetapi Komisaris merubah semua itu, bertolak dari pandangan tadi pastinya.

Dampak kebijakan sudah pasti ada dan setiap kerugian sudah pasti diperhitungkan terlebih dahulu sebelum diberlakukan. Dalam hal yang telah disampaikan sebelumnya, van der Capellen ingin membatasi penggunaan wilayah oleh para investor. Tetapi menjadi sulit ketika Raja tidak memberi perintah untuk menjepit perusahaan investor dengan kencang. Maka dari itu, para petani tetap saja mendapatkan hasil bumi mereka dengan murah karena para investor masih sedikit leluasa dalam memberikan uang pinjaman kepada petani sebagai awal usaha. Hal itu sudah pasti merugikan pemerintah. Sudah pasti petani menjadi tidak bisa membayar pajak sesuai dengan ketentuan, dan hasil perkebunan kopi juga menjadi jatuh ketangan per orangan karena investor-investor tadi. Sudah pasti merugikan Belanda yang juga pada saat itu sangat menghendaki pengisian kos kembali. Kemudian van der Capellen menutup Priangan terhadap orang-orang China dan juga Eropa kecuali dengan izin tertulis yang selama ini menjadi suatu momok yang berujung terhambatnya pendapatan nasional pada tahun 1820. Selain itu pada 1821 Capellen juga membatasi keberadaan gudang di luar kantor Keresidenan karena masih terjadi keluhan mengenai tengkulak.Dalam menanggapi hal ini investor tidak tinggal diam. Karena merasa kepentingannya menjadi terpaku oleh aturan yang diberlakukan Belanda akhirnya mereka berinsiatif untuk menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang setidaknya masih kuat keberadaannya. Walhasil banyak Residen melepaskan tanah mereka atas wewenang sendiri.  Ternyata para investor bisa lebih bermanuver ketika diberlakukan aturan yang membekukan bisnis mereka selama ini, dan itu terbukti ketika Capellen mendapatkan fakta bahwa raja-raja dan bangsawan pribumi memberikan hak-hak kedaulatan kepada investor asing. Maka dari itu Capellen semakin tegas menanggapinya. Pada Mei 1823 semua keputusan sepihak setelah kebijakannya harus dibatalkan dan semua uang yang telah diberikan kepada petinggi lokal harus dikembalikan padanya. Keputusan Capellen ini merupakan suatu hal yang membuat petinggi lokal tidak lagi memiliki wibawa karena kekurangan pemasukan, begitu juga pengusaha-pengusaha perkebunan.Hal seperti akhirnya bercondongkan pada monopoli, berbeda sekali dengan yang dahulu dikumandangkan, kebebasan untuk rakyat.

Tindakan van der Capellen membuat dirinya menjadi bahan bulan-bulanan kritik oleh orang-orang yang liberalismenya dijunjung tinggi. Mereka berpendapat bahwa Capellen sangat melenceng dari konsep yang dahulu menjunjung liberalisme. Capellen melakukan itu semua bukan karena memang ingin menopoli secara langsung dan terencana, tetapi karena memang pada 1823 keadaan finansial sangatlah krisis, maka dari itu udah pasti Capellen ingin menyeimbangkan kembali keadaan kas Negara dan melindungi pendapatan Negara dari para investor yang cenderung lebih makmur daripadanya. Memang logis dan setidaknya beritikad baik bagi kepentingan negaranya daripada melakukan titik-titik liberal pada situasi malah sangat merugikan nantinya. Capellen memang hanya sementara memberlakukan monopoli itu dikarenan posisi keuangan Negara tadi. Di tahun-tahun kemudian Capellen mendapatkan surplus yang membuatnya tidak lagi gelisah. Sebetulnya dia memang sangat berusaha keras untuk mematuhi rancangan-rancangan yang telah ditulis oleh Komisarisnya di atas kertas, buktinya dia kembali para petani pribumi untuk kebebasan bertani sesuai keinginan penggarap sambil melindungi mereka dari  pemerasan.

Referensi :

Lapian, Adrian B. 2009. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut. Komunitas Bambu : Jakarta

Vlekke, Bernard H. M. Nusantara Sejarah Indonesia. Gramedia : Jakarta

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Serambi : Jakarta

 

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

From → sejarah

Leave a Comment

Leave a comment